Beranda | Artikel
Keutamaan Menyambung Shilatur Rahim
Senin, 12 Februari 2018

KEUTAMAAN MENYAMBUNG SHILATUR RAHIM

عَنْ أَنَسِ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ  متفق عليه

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan jejaknya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya.”[1]

Makna “…dipanjangkan jejaknya” adalah dipanjangkan umurnya.[2]

Beberapa mutiara faidah yang dapat kita petik dari hadits ini:
1. Menyambung shilatur rahim artinya berbuat baik kepada para kerabat atau keluarga, baik dari ikatan nasab (keturunan) atau perkawinan, menyayangi dan peduli dengan keadaan mereka.[3] Berdasarkan makna ini, jelaslah kesalahan orang yang menamakan kunjungan kepada saudaranya sesama Muslim yang bukan kerabatnya dengan nama shilatur rahim.

2. Imam al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan para Ulama) bahwa menyambung shilatur rahim (hukumnya) wajib secara umum dan memutuskannya adalah perbuatan maksiat (yang termasuk) dosa besar.”[4]

3. Perintah menyambung shilatur rahim ini tetap berlaku meskipun pihak kerabat atau keluarga tersebut tidak membalas kebaikan kita atau bahkan membalasnya dengan keburukan.[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Bukanlah orang yang menyambung shilatur rahim (dengan sempurna) adalah (karena) membalas (kebaikan keluarga/kerabatnya), akan tetapi orang yang menyambung shilatur rahim adalah orang yang jika diputuskan hubungan shilatur rahim dengannya maka dia (justru) menyambungnya.[6]

4. Hadits ini menyebutkan balasan duniawi bagi amal shalih (menyambung shilatur rahim) yang dikerjakan manusia, padahal hukum asalnya, tidak boleh mengerjakan amal shaleh dengan niat mendapatkan balasan duniawi, bahkan ini termasuk perbuatan syirik. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan amal perbuatan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Merekalah orang-orang yang di akhirat (kelak) tidak akan memperoleh (balasan) kecuali neraka dan lenyaplah apa (amal kebaikan) yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka lakukan” [Hûd/11:15-16].

Berdasarkan ayat ini, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam kitab at-Tauhid mencantumkan sebuah bab khusus tentang masalah penting ini, yaitu bab: Termasuk (Perbuatan) Syirik Adalah Jika Seseorang Menginginkan Dunia Dengan Amal (Shaleh Yang Dilakukan)Nya[7].

Maka bagaimana cara mendudukkan hadits ini dan yang semakna dengannya agar tidak bertentangan dengan makna ayat di atas? Karena tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan perbuatan yang jelas-jelas tercela dalam agama.

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu asy-Syaikh telah menjelaskan dan memerinci hal ini, beliau berkata: “Amal-amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba dengan menghadirkan (keinginan mendapatkan) balasan duniawi ada dua macam:

1. Amal yang dilakukannya itu dengan menghadirkan dan menginginkan balasan duniawi, serta tidak menginginkan balasan di akhirat, (padahal) amal tersebut tidak dianjurkan dalam syariat dengan menyebutkan balasan duniawi, seperti shalat, puasa dan amal-amal ketaatan lainnya, maka amal seperti ini tidak boleh diniatkan untuk (balasan) duniawi. Kalau dia menginginkan (balasan) duniawi dengan amal seperti ini maka (berarti) dia telah berbuat syirik dengan kesyirikan seperti yang telah dijelaskan di atas.

2. Amal-amal yang dijelaskan dalam syariat akan mendatangkan balasan di dunia dan dianjurkan dalam Islam dengan menyebutkan balasannya di dunia. Seperti shilaturrahim (menyambung hubungan baik dengan kerabat), berbakti kepada orang tua dan yang semisalnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya dia menyambung (hubungan baik dengan) kerabatnya [8].

Amal-amal seperti ini, ketika seorang hamba yang melakukannya dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi tersebut, (meskipun) dia ikhlas kerena Allâh Azza wa Jalla (tapi) dia tidak menghadirkan (menginginkan) balasan akhirat, maka dia masuk dalam ancaman (buruknya perbuatan ini) dan ini termasuk jenis syirik yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika dia menghadirkan (menginginkan) balasan duniawi dan balasan akhirat (secara) bersamaan, (yaitu dengan) dia mengharapkan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla di akhirat (nanti), menginginkan surga dan takut (dengan siksa) neraka, tapi dia (juga) menghadirkan balasan duniawi dalam amal ini, maka (yang seperti) ini tidak mengapa (tidak berdosa), karena syariat Islam tidaklah memotivasi (untuk) mengerjakan amal tersebut dengan menyebutkan balasan duniawi kecuali untuk mendorong (kita).

Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ، عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ، فَلَهُ سَلَبُهُ

“Barangsiapa yang membunuh orang kafir (di medan jihad) dan dia mempunyai bukti (atas pembunuhan tersebut) maka dia (yang berhak) mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut” [9].

Maka barangsiapa yang membunuh orang kafir di (medan) jihad untuk mendapatkan harta yang ada pada orang kafir tersebut, akan tetapi tujuan (utamanya) berjihad adalah mengharapkan balasan di sisi Allâh Azza wa Jalla dan semata-mata mencari wajah-Nya, meskipun keinginannya (terhadap balasan duniawi) ini sebagai tambahan motivasi baginya. (Ringkasnya), keinginan orang ini tidak terbatas pada balasan duniawi ini, karena hatinya juga terikat dengan (balasan) akhirat, maka perbuatan seperti ini tidak mengapa (tidak berdosa) dan tidak termasuk jenis (perbuatan syirik) yang pertama [10].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XX/1437H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhâri, no. 1961 dan Muslim, no. 2557
[2] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitab Riyâdhush Shâlihîn, (1/395 – Bahjatun Nâzhirîn).
[3] Lihat kitab’Aunul Ma’bûd, 5/73  dan Faidhul Qadîr, 1/472
[4] Dinukil oleh Imam an-Nawawi dalam Syarhu Shahîh Muslim, 16/113
[5] Lihat kitab Aunul Ma’bûd, 5/73
[6] HR. Al-Bukhâri, 5/2233
[7] Lihat kitab “Fathul Majîd” (hal. 451).
[8] HR. Al-Bukhâri, no. 1961 dan Muslim, no. 2557
[9] HR. Al-Bukhâri, no. 2973 dan Muslim, no. 1751
[10] Kitab at-Tamhîd lisyarhi Kitâbit Tauhîd, hlm. 406-407


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/8450-keutamaan-menyambung-shilatur-rahim-2.html